Jakarta, Kompas - Pemerintah harus mengevaluasi pemberian status rintisan sekolah bertaraf internasional atau RSBI pada sejumlah sekolah. Sebab kenyataannya, antara label dan kualitas jauh berbeda. RSBI sekarang ini lebih banyak hanya berupa label.
"Saya khawatir label internasional hanya menjadi strategi marketing yang membohongi masyarakat. Pemerintah pusat jangan lepas tangan dengan menyatakan pungutan dana di RSBI hasil kesepakatan komite sekolah. Masak pemerintah tidak punya kekuatan untuk mengendalikan sekolah?" kata anggota Komisi X DPR, Dedy Suwandi Gumelar, dari PDI-P di Jakarta, Kamis (3/6).
Dedy mengatakan, dirinya kerap menerima keluhan dari masyarakat yang merasa terkecoh karena label RSBI, ternyata kualitasnya jauh dari bayangan masyarakat. Label RSBI diberikan pada sekolah yang proses belajar-mengajarnya menggunakan dwibahasa, yakni bahasa Inggris dan bahasa Indonesia.
"Tidak bisa jika hanya memakai bahasa Inggris kemudian sekolah itu diberi label RSBI. Yang penting itu, kualitasnya," kata Dedy.
Anggota Komisi X DPR, Reni Marlinawati (PPP), mengatakan, pemberian status RSBI tidak dilandasi obyektivitas yang matang, termasuk kualitas guru dan sarana-prasarana yang memadai.
Lebih parah lagi, RSBI memungut dana cukup tinggi pada orangtua siswa. "RSBI sudah mendapat dana dari APBN dan APBD. Mengapa harus minta lagi dari masyarakat? Pungutannya pun tidak kecil," kata Reni.
Karena tingginya pungutan terhadap orangtua siswa, hanya orang kaya yang bisa masuk RSBI. "Ini jelas-jelas melanggar prinsip nondiskriminasi dalam pendidikan," ujar Dedy.
Praktisi pendidikan Darmaningtyas mengatakan, anak-anak miskin juga berhak mendapat pendidikan bermutu baik seperti amanat Undang-Undang Dasar 1945. Mereka berhak sekolah di sekolah negeri yang gurunya dibayar negara dan biaya operasionalnya dari pajak warga negara. "Jangan lagi mereka dibebani pungutan tinggi," ujarnya.
Pungutan
Direktur Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah Kementerian Pendidikan Nasional Suyanto mengatakan, penetapan jumlah pungutan telah ditetapkan di tingkat komite sekolah sehingga kebijakan setiap sekolah akan berbeda-beda. Pemerintah tidak bisa terburu-buru membuat regulasi karena justru dikhawatirkan akan mematikan semangat dan daya inovasi sekolah untuk meningkatkan kualitas pendidikannya.
Suyanto menambahkan, tidak semua sekolah berlabel RSBI dan SBI mahal. Bahkan, sebagian besar RSBI dan SBI di daerah lain, selain DKI Jakarta, justru murah karena tidak semua murid harus mengeluarkan biaya. "RSBI dan SBI yang mahal hanya ada di DKI Jakarta," kata Suyanto seusai bertemu dengan kepala sekolah RSBI dan SBI se-Jawa dan Bali, Kamis sore.
Direktur Pembinaan Taman Kanak-kanak dan Sekolah Dasar Kementerian Pendidikan Nasional Mujito mengatakan, Mendiknas akan mengeluarkan surat edaran yang mewajibkan RSBI menyediakan kuota 20 persen bagi siswa miskin. (LUK/CHE)