|
Selasa, 17 September 2013
Undangan dari Yasser Amiruddin menunggu respons Anda
Kamis, 12 September 2013
Undangan untuk terhubung di LinkedIn
|

Rabu, 11 September 2013
Undangan untuk terhubung di LinkedIn
|

Sabtu, 16 Februari 2013
Perubahan kata sandi Facebook
|
Rabu, 05 September 2012
Yasser A. Amiruddin mengajak Anda untuk bergabung di Facebook
|
Sabtu, 21 Agustus 2010
PENDATAAN HONORER 2010 SEBAIKNYA MENGACU PADA PENDATAAN 2005
Beberapa orang dan lembaga, independen mengindikasikan adanya manipulasi surat keputusan (SK) pengangkatan tenaga honorer. SK tersebut digunakan agar masuk dalam pendataan tenaga honorer sebagaimana diatur dalam Surat Edaran (SE) Menpan No. 5/2010 tentang Pendataan Tenaga Honorer yang Bekerja di lingkungan instansi pemerintah. dalam pendataan tenaga honorer tahun ini, BKDD memberikan dua kategori sesuai SE Menegpan No 05/2010. Kategori I merupakan pendataan tenaga honorer yang masuk kriteria memenuhi syarat A (MS A) yang tercecer belum diangkat menjadi calon pegawai negeri sipil (CPNS). Sementara kategori II merupakan pendataan tenaga honorer yang masuk kriteria MSB, di mana gajinya berumber dari non-APBD/APBN.
Sehubungan dengan hal itu, dimeminta agar Badan Kepegawaian dan Diklat Daerah (BKDD) menggunakan database tahun 2005 dalam pendataan ulang tenaga honorer daerah. "Di lapangan ada praktik seperti itu, memundurkan SK atau surat tugas honorer agar masuk dalam pendataan. Karena yang didata ini 'kan yang masa kerja 2005 ke bawah," ungkap salah seorang tenaga honorer yang bekerja sejak tahun 1993
Menurutnya, persoalan tersebut lebih didasarkan pada alasan yang bersifat kedekatan, saudara atau kerabat. Padahal mereka bekerja sesudah tahun 2005. "Mereka merugikan kami yang sudah lama bekerja. Absen dan ampra gaji juga dimanipulasi, padahal mereka baru kerja sesudah tahun 2005. Ikut pendataan 2005 pun, tidak," katanya
BKDD pasti masih memiliki database tenaga honorer tahun 2005. Malah data itu diserahkan ke BKN pada saat pendataan tahun 2005 berdasarkan PP No. 48/2005 tentang pengangkatan tenaga honorer menjadi calon pegawai negeri sipil, sebagaimana telah diubah dengan PP No. 43/2007. "data base tersebut bisa dijadikan acuan dasar dalam mendataan ulang tenaga honorer yang tercecer tersebut" kuncinya.
Sabtu, 05 Juni 2010
Evaluasi Status RSBI (Penggunaan Bahasa Inggris Tidak Lantas Disebut Internasional)
Jakarta, Kompas - Pemerintah harus mengevaluasi pemberian status rintisan sekolah bertaraf internasional atau RSBI pada sejumlah sekolah. Sebab kenyataannya, antara label dan kualitas jauh berbeda. RSBI sekarang ini lebih banyak hanya berupa label.
"Saya khawatir label internasional hanya menjadi strategi marketing yang membohongi masyarakat. Pemerintah pusat jangan lepas tangan dengan menyatakan pungutan dana di RSBI hasil kesepakatan komite sekolah. Masak pemerintah tidak punya kekuatan untuk mengendalikan sekolah?" kata anggota Komisi X DPR, Dedy Suwandi Gumelar, dari PDI-P di Jakarta, Kamis (3/6).
Dedy mengatakan, dirinya kerap menerima keluhan dari masyarakat yang merasa terkecoh karena label RSBI, ternyata kualitasnya jauh dari bayangan masyarakat. Label RSBI diberikan pada sekolah yang proses belajar-mengajarnya menggunakan dwibahasa, yakni bahasa Inggris dan bahasa Indonesia.
"Tidak bisa jika hanya memakai bahasa Inggris kemudian sekolah itu diberi label RSBI. Yang penting itu, kualitasnya," kata Dedy.
Anggota Komisi X DPR, Reni Marlinawati (PPP), mengatakan, pemberian status RSBI tidak dilandasi obyektivitas yang matang, termasuk kualitas guru dan sarana-prasarana yang memadai.
Lebih parah lagi, RSBI memungut dana cukup tinggi pada orangtua siswa. "RSBI sudah mendapat dana dari APBN dan APBD. Mengapa harus minta lagi dari masyarakat? Pungutannya pun tidak kecil," kata Reni.
Karena tingginya pungutan terhadap orangtua siswa, hanya orang kaya yang bisa masuk RSBI. "Ini jelas-jelas melanggar prinsip nondiskriminasi dalam pendidikan," ujar Dedy.
Praktisi pendidikan Darmaningtyas mengatakan, anak-anak miskin juga berhak mendapat pendidikan bermutu baik seperti amanat Undang-Undang Dasar 1945. Mereka berhak sekolah di sekolah negeri yang gurunya dibayar negara dan biaya operasionalnya dari pajak warga negara. "Jangan lagi mereka dibebani pungutan tinggi," ujarnya.
Pungutan
Direktur Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah Kementerian Pendidikan Nasional Suyanto mengatakan, penetapan jumlah pungutan telah ditetapkan di tingkat komite sekolah sehingga kebijakan setiap sekolah akan berbeda-beda. Pemerintah tidak bisa terburu-buru membuat regulasi karena justru dikhawatirkan akan mematikan semangat dan daya inovasi sekolah untuk meningkatkan kualitas pendidikannya.
Suyanto menambahkan, tidak semua sekolah berlabel RSBI dan SBI mahal. Bahkan, sebagian besar RSBI dan SBI di daerah lain, selain DKI Jakarta, justru murah karena tidak semua murid harus mengeluarkan biaya. "RSBI dan SBI yang mahal hanya ada di DKI Jakarta," kata Suyanto seusai bertemu dengan kepala sekolah RSBI dan SBI se-Jawa dan Bali, Kamis sore.
Direktur Pembinaan Taman Kanak-kanak dan Sekolah Dasar Kementerian Pendidikan Nasional Mujito mengatakan, Mendiknas akan mengeluarkan surat edaran yang mewajibkan RSBI menyediakan kuota 20 persen bagi siswa miskin. (LUK/CHE)